Sejarah Lumajang "Kerajaan Lamajang Tigang Juru"



Lumajang merupakan daerah yang terletak di kawasan tapal kuda di Provinsi Jawa Timur. Letak Lumajang ialah diapit oleh tiga gunung yakni, Gunung Semeru, Gunung Lamongan, dan Gunung Bromo. Karena letaknya yang diapit oleh tiga gunung, daerah di Lumajang sangatlah subur.


Lumajang adalah daerah yang sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Daha pada masa pemerintahan Wisnuwardhana. Pada prasasti Mula Malurung sudah dikenal nama Lamajang yang merupakan nama kuno Lumajang. Prasasti ini ditemukan dengan angka tahun 1177 saka atau 1255 masehi dan nama Lamajang dikenal secara resmi.

Secara spiritual nama Lamajang berarti Luma (rumah) dan Hyang (Dewa) yang berarti rumahnya para Dewa atau rumah yang suci. Dan secara material yaitu pandangan setiap orang yang melihat daerah sebelah timur Gunung Semeru akan tampak seperti Lumah yang menjadi Ajang atau dengan kata lain seperti tempat nasi atau tempat yang subur dan makmur.
 
 Lamajang pada masa Kerajaan Daha dan Singosari merupakan daerah yang penting. Pada waktu Kerajaan Daha, daerah Lamajang tepatnya di Gunung Semeru dijadikan tempat ritual. Bukti ini adalah dengan ditemukan Prasasti Tesirejo dan Arca Lembu Nandini. Sedangkan pada waktu Kerajaan Singosari, selain dijadikan tempat ritual, Lamajang juga dijadikan tempat lumbung pemenuh kebutuhan kerajaan. Daerah ini sekarang dikenal dengan nama Candipuro. Hal ini diketahui dengan ditemukannya Candi Gedong Putri.

Pendiri Kerajaan Lamajang ini adalah adipati Sumenep yakni Banyak Wide atau Arya Wiraraja. Banyak wide dilahirkan di daerah Nangkaan (Ranuyoso). Banyak Wide merupakan keturunan brahmana dan karirnya diawali dengan mengabdi kepada Wangsa Rajasa. Karena kecerdasannya, Banyak Wide dinobatkan sebagai adipati di Sumenep oleh Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari. Selain itu, pada saat Raden Wijaya melarikan diri ke Madura, Banyak Wide menyambut keluarga Raden Wijaya dan membantunya berperang melawan Jayakatwang dan pasukan Mongol. Ketika bumi Jawa sudah kembali tenang, berdasarkan perjanjian Sumenep, Raden Wijaya membagi Jawa Timur menjadi 2 yakni, Jawa Timur bagian barat beribukota di Trowulan dengan Kerajaan bernama Majapahit dan Jawa Timur bagian Timur beribukota di Lamajang dengan nama Kerajaan Lamajang Tigang Juru.

Lamajang Tigang Juru didirikan hampir bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Majapahit. Sedangkan Banyak Wide dinobatkan sebagai raja Kerajaan Lamajang Tigang Juru pada hari Kamis Legi, wuku landep, tanggal 25 bulan Bhadrapada (bulan karo) tahun 1216 saka yang bertepatan dengan tanggal 26 Agustus 1294 Masehi. Nama gelar Arya Wiraraja sendiri berarti: Arya adalah orang pembesar atau bangsawan, Wira adalah pemberani sedang raja adalah Pemimpin. Jadi, Arya Wiraraja berarti adalah seorang pembesar dan pemimpin yang berani.

Keraton Kerajaan Lamajang Tigang Juru ini berada di Arnon yang sekarang bernama Kutorenon. Di sana selain terdapat keraton kerajaan, juga terdapat benteng yang kokoh dimana ketebalan bentengnya adalah 4-6 meter, tinggi antara 6-10 meter dengan 3 sungai besar, yaitu Bondoyudo di sebelah timur, Bodang atau Wingong di sebelah timur, dan Ploso di sebelah barat, sedangkan 1 sungai buatan, yaitu Cangkring ada di sebelah selatan. Perbentengan ini dilengkapi dengan sistem menara pengawas yang sampai sekarang ada 6 pengungakan. Letak keraton ini tepat berada di Lamajang Tengah sehingga memudahkan untuk mengontrol daerah Lamajang Utara yang difungsikan untuk pertahanan , serta Lamajang Selatan yang difungsikan sebagai pelabuhan.

Kerajaan Lamajang Tigang Juru dan Kerajaan Majapahit memiliki hubungan yang baik karena kedua raja dari masing-masing kerajaan ini saling menghormati satu sama lain. Hal ini dibuktikan dengan ditempatkannya anak-anak dan kerabat dekat Arya Wiraraja pada posisi penting di Kerajaan Majapahit.

Hubungan kedua kerajaan ini mulai berkurang dengan diawali pemberontakan Ronggolawe yang tidak puas dengan pengangkatan Nambi . Selain itu, fitnah yang dilakukan Mahapati yang berasal dari Wangsa Sinelir juga turut mempengaruhinya.

Pergantian kedudukan raja di Majapahit dari Kertarajasa ke anaknya yakni Jayanegara menjadi awal perang dingin antara Lamajang Tigang Juru dengan Majapahit. Adanya Arya Wiraraja membuat Jayanegara menunda perang melawan Lamajang karena Arya Wiraraja merupakan orang yang disegani di Majapahit.

Ketika meninggalnya Arya Wiraraja, Nambi yang pulang ke Lamajang mendapat serangan mendadak dari pasukan Majapahit. Nambi turut gugur dalam serangan itu karena taktik licik yakni melawan Nambi dengan 3 orang panglima sekaligus. Setelah kematian Nambi, kerajaan Lamajang Tigang Juru pun jatuh ketangan pasukan Majapahit.

Napak Tilas Jejak Kerajaan Lamajang Tigang Juru


Siapa yang tak kenal dengan kerajaan Majapahit. Kerajaan yang konon memiliki jalur perdagangan se-Nusantara ini didirikan oleh Raden wijaya atau bergelar Kertarajasa Jaya Wardhana.

Rupaya sebelum pendirian kerajaan Majapahit, Raden Wijaya terikat perjanjian dengan Arya Wiraraja karena turut membantu menjatuhkan kerajaan Singahasari atau Singosari yang dipimpin oleh Raja Kertanegara hingga berdirinya kerajaan Majapahit.

Dalam Kitab Pararaton, bekas kerajaan Singosari dibagi menjadi dua berdasarkan kesepakatan antara Raden Wijaya dan Arya Wiraraja. Bekas wilayah Keraaan Singosari bagian barat yang kemudian bernama Majapahit dengan Raja Raden Wijaya kekuasaanya meliputi Daerah Singosari, Kediri, Gelang-Gelang (Ponorogo) dan Wengker dengan ibu kota Majapahit di Mojokerto.

Bekas Kerajaan Singosari bagian timur kemudian menjadi Kerajaan Lamajang Tigang Juru dengan kekuasaan meliputi Daerah Lumajang, Panarukan, Blambangan, Madura dengan ibu kota di Katurenon (Kawasan Situs Biting) dengan raja Arya Wiraraja. Berdasarkan data sejarah dua kerajaan itu berdiri pada 10 November 1293. Perjanjian itu termaktub dalam Prasasti Pudadu.

Arkeologi Udhayana Aries Purwantini mengatakan, Kerajaan Lamajang Tigang Juru ini memiliki peradaban yang hampir sama dengan kerajaan Majapahit. "Saat ini sedang dilakukan penggalian situs Biting. Dimana situs ini adalah benteng kerajaan Lamajang Tigang Juru yang memiliki luas sekitar 135 Hektar," kata Aris di sela-sela penggalian situs.

Di dalam situs tersebut, terdapat beberapa petilasan-petilasan Arya Wiraraja atau masyarakt sekitar menyebut Banyak Wide atau Minak Koncar. Setidaknya, ada bangunan cungkup yang berisi makam Arya Wiraraja. Namun, kata Aris, secara sejarah belum dibuktikan apakah makam tersebut benar-benar persemayaman Raja Minak Koncar atau bukan.

Masyarakat sekitar mempercayai bahwa ini adalah makam Arya Wiraraja. Selain itu, Arya Wiraraja yang pernah menjabat sebagai Adipati Sumenep itu di sana juga tidak ada makam Arya Wiraraja," jelasnya. Di sekitar situs tersebut juga terdapat sejumlah petilasan-petilasan lainnya. Seperti makam Minak Koncar dan Sumur Windhu.

Arya Wiraraja meninggalkan banyak keturunan. Setidaknya ada tiga yang utama. Yakni, Mahapatih Nambi yang kemudian menggantikan menjadi raja Lamajang dan gugur mempertahankan kebesaran Lamajang Tigang Juru pada 1316 Masehi.

Kedua, Ronggolawe yang menjadi Adipati Tuban I dan gugur pada 1295 masehi karena melakukan perlawanan kepada Kerajaaan majapait. Dari Ronggolawe inilah kemudian tersambung keturunan generasi keempat, yakni Raden Sahid atau Sunan Kalijaga.

Ketiga, Adipati Suradhikara yang kemudian meneruskan pemerintahan di bekas kerajaan Lamajang Tigang Juru yang kemudian menurunkan raja-raja di kerajaan Patukangan atau Panarukan dan Blambangan seperti Prabu Tawang Alun. Selanjutnya, kerajaan Lamajang Tigang Juru Runtuh Karena 'Salah Paham' dengan Majapahit.

Hingga saat ini, Pemerintah Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, masih melakukan penggalian terhadap bekas kerajaan Lamajang Tigang Juru itu.

Situs Biting


Situs Biting adalah sebuah situs arkeologis yang terletak di desa Kutorenon, kecamatan Sukodono, Lumajang, provinsi Jawa Timur. Situs ini diperkirakan merupakan peninggalan dari kerajaan Lamajang dan tersebar di atas kawasan seluas sekitar 135 hektaree. Bangunan yang paling mengesankan adalah bekas tembok benteng dengan dengan panjang 10 kilometer, lebar 6 meter dan tinggi 10 meter.

Kawasan Situs Biting adalah sebuah kawasan ibu kota kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin Prabu Arya Wiraraja yang dikelilingi oleh benteng pertahanan dengan tebal 4 s/d 6 meter, tinggi 10 meter dan panjang 10 km. Hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 1982-1991, Kawasan Situs Biting memiliki luas 135 hektare yang mencakup 6 blok/area merupakan blok keraton seluas 76,5 ha, blok Jeding 5 ha, blok Biting 10,5 ha, blok Randu 14,2 ha, blok Salak 16 ha, dan blok Duren 12,8 ha. Dalam Babad Negara Kertagama, kawasan ini disebut Arnon dan dalam perkembangan pada abad ke-17 disebut Renon dan dewasa ini masuk dalam desa Kutorenon yang dalam cerita rakyat identik dengan "Ketonon" atau terbakar. Nama Biting sendiri merujuk pada kosa kata Madura bernama "Benteng" karena daerah ini memang dikelilingi oleh benteng yang kokoh

Pada tahun 1995 di Kawasan Situs Biting mulai dibangun Perumnas Biting yang tentu saja banyak merusak peninggalan Sejarah (Situs) yang ada. Namun anehnya pihak-pihak terkait yaitu Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur yang merupakan lembaga penyelamat seolah diam melihat perusakan ini sehingga lebih kurang 15 Hektar kawasan ini rusak oleh pembangunan ini.
Pada tahun 2010, berdasarkan lahir sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat bernama Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM Timur) melakukan advokasi pelestarian Situs Biting. Setelah itu juga Komunitas Mahasiswa Peduli Lumajang (KMPL) bergerak dalam advokasi ini dan kemudian juga elemen masyarakat lokal Biting juga mulai sadar akan peninggalan sejarah yang ada di wilayahnya.

Advokasi yang dilakukan oleh para pelestari Situs Biting telah melahirkan berbagai event seperti Napak Tilas yang telah digelar selama 2 kali berturut-turut, lomba lukis benteng maupun seminar Nasional. Untuk acara Napak Tilas kemudian menjadi agenda resmi Pariwisata Jawa Timur dari Kabupaten Lumajang yang akan diadakan setiap bulan juni.

Pelestarian Situs Biting di Lumajang Jawa Timur merupakan contoh bagi para pecinta dan pelestari sejarah dimana LSM, mahasiswa maupun masyarakat telah bahu-membahu melakukan sosialisasi maupun advokasi terhadap peninggalan sejarah.

Dalam sejarahnya, prasasti Kudadu menyebutkan bahwa ketika Raden Wijaya melarikan diri bersama 12 pengawal setianya ke Madura, Adipati Arya Wiraraja memberikan bantuan kemudian melakukan kesepakatan "pembagian tanah Jawa menjadi dua" yang sama besar yang kemudian di sebut "Perjanjian Sumenep". Setelah itu Adipati Arya wiraraja memberi bantuan besar-besar kepada Raden Wijaya termasuk mengusahakan pengampunan politik dari Prabu Jayakatwang di Kediri dan pembukaan "hutan Tarik' menjadi sebuah desa bernama Majapahit. Dalam pembukaan desa Majapahit ini sungguh besar jasa Adipati Arya Wiraraja dan pasukan Madura. Raden wijaya sendiri datang di desa Majapahit setelah padi-padi sudah menguning.

Kira-kira 10 bulan setelah pendirian desa Majapahit ini, kemudian datanglah pasukan besar Mongol Tar Tar pimpinan Jendral Shih Pi yang mendarat di pelabuhan Tuban. Adipati Arya Wiraraja kemudian menasehati raden wijaya untuk mengirim utusan dan bekerja sama dengan pasukan besar ini dan menawarkan bantuan dengan iming-iming harta rampasan perang dan putri-putri Jawa yang cantik. Setelah dicapai kesepakatan maka diseranglah Prabu Jayakatwang di Kediri yang kemudian dapat ditaklukkan dalam waktu yang kurang dari sebulan. Setelah kekalahan Kediri, Jendral Shih Pi meminta janji putri-putri Jawa tersebut dan kemudian sekali lagi dengan kecerdikan Adipati Arya Wiraraja utusan Mongol dibawah pimpinan Jendral Kau Tsing menjemput para putri tersebut di desa Majapahit tanpa membawa senjata.

Hal ini dikarenakan permintaan Arya wiraraja dan Raden Wijaya untuk para penjemput putri Jawa tersebut untuk meletakkan senjata dikarenakan permohonan para putri yang dijanjikan yang masih trauma dengan senjata dan peperangan yang sering kali terjadi. Setelah pasukan Mongol Tar Tar masuk desa majapahit tanpa senjata, tiba-tiba gerbang desa ditutup dan pasukan Ronggolawe maupun Mpu Sora bertugas membantainya. Hal ini diikuti oleh pengusiran pasukan Mongol Tar Tar baik di pelabuhan Ujung Galuh (Surabya) maupun di Kediri oleh pasukan Madura dan laskar Majapahit. Dalam catatan sejarah, kekalahan pasukan Mongol Tar Tar ini merupakan kekalahan yang paling memalukan karena pasukan besar ini harus lari tercerai berai.

Setahun setelah pengusiran pasukan Mongol Tar Tar, menurut Kidung Harsawijaya, sesuai dengan "Perjanjian Sumenep" tepatnya pada 10 Nopember 1293 Masehi, Raden Wijaya diangkat menjadi raja Majapahit yang wilayahnya meliputi wilayah-wilaah Malang (bekas kerajaan Singosari), Pasuruan, dan wilayah-wilayah di bagian barat sedangkan di wilayah timur berdiri kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin oleh Arya Wiraraja yang kemudian dalam dongeng rakyat Lumajang disebut sebagai Prabu Menak Koncar I. Kerajaan Lamajang Tigang Juru ini sendiri menguasai wilayah seperti Madura, Lamajang, Patukangan atau Panarukan dan Blambangan. Dari pembagian bekas kerajaan Singosari ini kemudian kita mengenal adanya 2 budaya yang berbeda di Provinsi Jawa Timur, dimana bekas kerajaan Majapahit dikenal mempunyai budaya Mataraman, sedang bekas wilayah kerajaan Lamajang Tigang Juru dikenal dengan "budaya Pendalungan (campuran Jawa dan Madura)" yang berada di kawasan Tapal Kuda sekarang ini. Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja)ini berkuasa dari tahun 1293- 1316 Masehi. Sepeninggal Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja), salah seorang penerusnya yaiti Mpu Nambi diserang oleh Majapahit yang menyebabkan Lamajang Tigang Juru jatuh dan gugurnya Mpu Nambi yang juga merupakan patih di Majapahit. Babad Pararaton menceritakan kejatuhan Lamajang pada tahun saka "Naganahut-wulan" (Naga mengigit bulan) dan dalam Babad Negara Kertagama disebutkan tahun "Muktigunapaksarupa" yang keduanya menujukkan angka tahun 1238 Saka atau 1316 Masehi. Jatuhnya Lamajang ini kemudian membuat kota-kota pelabuhannya seperti Sadeng dan Patukangan melakukan perlawanan yang kemudian dikenal sebagai "Pasadeng" atau perang sadeng dan ketha pada tahun 1331 masehi.

Ketika Hayam Wuruk melakukan perjalanan keliling daerah Lamajang pada tahun 1359 Masehi tidak berani singgah di bekas ibu kota Arnon (Situs Biting). Malah perlawanan daerah timur kembali bergolak ketika adanya perpecahan Majapahit menjadi barat dan timur dengan adanya "Perang Paregreg" pada tahun 1401-1406 Masehi. Perlawanan masyarakat Lamajang kembali bergolak ketika Babad Tanah Jawi menceritakan Sultan Agung merebut benteng Renong (dalam hal ini Arnon atau Kutorenon) melalui Tumenggung Sura Tani sekitar tahun 1617 Masehi. Kemudian ketika anak-anak Untung Suropati terdesak dari Pasuruan, sekali perlawanan dialihkan dari kawasan Arnon atau Renong yang sekarang dikenal sebagai Situs Biting Lumajang.

[sumber : sclm17.blogspot.co.id]

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »